Titik dimana kita tidak peduli berbagi, menjauhi rontaan mimpi yang dikuasai ambisi, menelanjangi ratusan makna-makna yang ditulis rapi menjadi puisi. "Tidakah kamu mengerti? Aku ingin pergi dari penjara ini?".
Satu persatu waktu mengajarkanku sendiri melupakan mimpi yang tak bisa kukuasai. Celoteh dari berbagai tirani memaksa melucuti jati diri. Menelan ludah untuk kutukan paling kejam sepanjang tali ari-ari.
"Bosan aku mendengar dengkuran manusia pemimpi sepertimu", kali ini kata-kata itu keluar melesat tanpa peringatan sebelumnya. Menembus kedalam alam bawah sadar yang tidak bisa lepas dari obat ketakutan. Ratusan doa penawar dosa dalam ritual waktu para manusia bertuhan.
"Kalau begitu kembalikan aku pada ambisiku yang pernah kau hilangkan", aku tak tahan dengan negosiasi yang menyudutkanku pada kesabaran tak membuahkan hasil apapun.
"Aku tak heran jika kau tak pernah dapat kebahagiaan, sebab ambisi sudah melumpuhkan urat kepekaanmu pada yang sudah ditentukan". Kamu berpaling membelakangiku, seperti biasa menggantungkan amarahku di ujung sikap mengalah.
"Apa maksudmu?. Kau selalu pergi dengan tak memberi kepastian". Aku menahan gerak langkahnya yang lunglai.
"Sudahlah, selesaikan saja ambisimu sendiri, aku tak mampu mendinginkannya. Biarkan semuanya terbakar dan kamu akan tau sendiri"