Jumat, 22 November 2013

Persepsi pendakian terhadap alam yang diam (catatan seorang pendaki amatiran)

Jadi banyak orang yang melakukan pendakian... semakin besar pula kontribusi perusakan... Apalagi pendakian yang tidak didasari kesadaran akan lingkungan... makin banyak sampah berserakan... Hampir disemua tempat yang pernah saya kunjungi. Alam rimba kehilangan keasriannya... plastik warna warni tercecer menjadi jalur perjalanan Semacam cagar alam pulau sempu yg ditiap si2 pantainya gunukan sampah pengunjung dibiarkan. Monyet-monyet kelaparan mncri makanan smpah berantakan Semacam gunung-gunung yang tiap minggunya mendapat pengunjung ribuan... membuka jalur, mematahkan dahan membuang pembalut di semak-semak pepohonan Semacam pantai yang dalam pasirnya terdapat botol2 minuman. Plastik-plastik makanan. Dan di sela-sela karang dan bebatuan sedal dan pakaian... Kesadaran akan lingkungan memang selalu menjadi alasan bagi para mereka penikmat hutan. Mereka ingin semakin dekat dengan Tuhan. Satu hal yang tidak pernah kita sadari. Yaitu tentang ketidaksadaran itu sendiri. Kontribusi yang nampak seperti ilusi. Seperti determinis dan possiblis... teori pemahaman manusia terhadap alam. Seperti itu pula manusia beralasan. Mereka dan juga saya akan tetap beralasan, bahwa pendakian asal didasari kesadaran terhadap lingkungan. Itu dibenarkan. Banyaknya pendakian pemula atau mereka yang sekedar penasaran semakin meningkat jumlahnya. Itu bisa jadi akibat dari perubahan sosial Bisa jadi trend para wisatawan luar yang dtg keindonesia. Bisa pula pengaruh industri pariwisata. Bisa karena kebosanan terhadap kota. Ya bisa-bisa saja... karena sesuai teori respon sendiri. Persepsi, sikap, kemudian perilaku... dan sudah tidak aneh jika sikap tak sesuai perilaku. Pada dsrnya kita manusia selalu punya peran yg lebih daripada yang diam. Seperti alam. Kita didasari persepsi untuk selanjutnya melakukan tindakan. Itu manusia. Semua manusia seperti itu. Semua dimulai dari persepsi kita terhadap suatu objek. Dan alam adalah objek. Kita tidak bisa menyalahkan kemanusiawian kita. Biar bagaimanapun didunia manusia selalu lebih punya peran. Dan alam adalah kajian. Penasaran adalah cara mendapatkan jawaban. Tindakan adalah cara kita menentukan keyakinan. Mungkin Saya juga menyadari sebagai yang memiliki peran. Sebagai salah satu korban rasa penasaran. Yang menjawabnya dengan tindakan (pendakian) Pernah saya berfikir bahwa semakin banyak kita membawa org melakukan pendakian. Kita juga berkontribusi besar terhadap kerusakan. Tapi sekali lagi, kita manusia lebih punya peran menentukan. Kita punya alasan. Kita punya motif melakukan tindakan. Terhadap lingkungan kita hanya bisa berpresepsi, bersikap, tapi tidak berpartisipasi. Kita hanya manusia. Itu saja.

Begitulah tulisan tentang persepsi, sikap saya terhadap sesuatu. Semoga dari tulisan ini pembaca bisa menyimpulkan. Karena sesuai dengan presepsi itu sendiri adalah hasil dari penggunan panca indra. Saya melihat, saya merasakan. Setiap kita punya pandangan. Hasil dari pemahaman. Hasil kerja panca indra. Kita memang tidak bisa menghindari ketidaksadaran. Karena kita selalu beralasan sebagai yg lebih punya peran (sudut pandang manusia). Itulah yang tidak membuat saya berhenti melakukan pendakian, perjalanan, menerobos hutan-hutan. Karena saya berperan. Saya manusia. Alam hanya diam. Semacam bentuk keegosian bukan? Itu masalah tersendiri yang tidak bisa saya lawan. Sejauh ini saya hanya berupaya taat pada aturan.

Kamis, 14 November 2013

Tanpa Judul

Berdamai dengan hati... berdamai dengan keputusan ilahi... kali ini mau tidak mau harus mempercayai... bahwa kekuatan itu berasal dari Tuhan mu sendiri... 
ingat, sebuah pencarian hanya akan membuatmu terhenti pada kepercayaan semula... berhenti mencari dan berhenti membuat spekulasi... kepercayaan hatimu sendiri yang tentukan... bukan orang lain. 
Kamu selalu bilang bahwa ketidak percayaan adalah bentuk kepekaan perasaan pada yang minoritas tertindas... mereka dibuat sakit oleh sebutan yang pedas... dan kamu mulai ragu dengan keturunan mu yang memberikan keyakian itu. Mereka selalu bilang "awas kamu terjerumus masuk kepercayaan mereka". Lalu dalam hati aku bertanya, apakah ini lebih bahaya ketimbang kita menyakiti sesama?. Tapi mulutku tidak begitu saja melawan mereka. Aku mulai berteori lagi, Mayoritas selalu ingin menang dari yang minoritas. Mayoritas terbelah dan Minoritas bisa jadi unggul. Tapi kali ini aku akan hanya diam, mempercayai apa itu hati. semua jawabannya selalu manusiawi. Bahkan keputusan besarku menyetujui semua kepercayaan karena itu bersumber dari hati yang paling bersih. seperti mereka yang selalu mencari dan menemukannya dalam diri sendiri. Kurasa Tuhan mengerti bahwa urusan hati sebaiknya hanya disimpan rapat didalamnya. seperti aku yang percaya bahwa kekuatan besar itu wajib dipercayai tapi tidak untuk dijadikan ajang pembenaran. karena kamu akan temui begitu banyak orang yang inginkan kebenaran dari apa yang mereka yakini.