|
ilustrasi |
Perdebatan itu dimulai
di siang saat mata kanan dan kiri ku berada jauh di alam yang memberi lamunan.
Mungkin dari sebuah mimpi yang tak terselesaikan tadi malam, atau malam
sebelumnya.
Perdebatan tentang
wanita. Yah… wanita… peran wanita di zaman peradabannya.
Berawal dari sebuah
ajakan tentang derai perbincangan yang akan dilakukannya untuk perubahan.
Rasa-rasanya dapat ku tangkap maksud dan tujuannya mengadakan audiensi itu.
“mau
apa tah?? Bukan bayar listrik kan??”
jawabku dengan perkiraan yang disadarkan sesosok aktivis yang kutahu porsi pergolakannya
dengan masalah.
“mau
audiensi terkait sering terjadinya pemadaman listrik didaerah-daerah banten”
jawabnya dengan tulisan yang salah dibeberapa huruf yang digunakan. Namun
ketikannya tak macam anak ABG zaman sekarang dengan kata lain penuh singkatan.
“oke,,
siippp” tulisku dengan sangat singkat. Namun tidak
menghilangkan singkatnya pemikiranku tentang hal yang demikian.
Dia meneruskan…. “serta ketersediaan PJU yang tidak tepat
guna dan tanpa ada pemeliharaan” lebih jauh dia memaparkan dan menerangkan
semua perencanannya (willing, kalo katanya mah)… dan dari bawah kalimat itu
terselip dibagian akhirnya “mau ikut
ga….” Tulisnya tanpa tanda tanya…
Wajahku meraba
kebingungan saat tulisan demi tulisan yang berhasil ia ketik dan dikirimkan
padaku… memaksaku berpikir lebih ganas. Melebihi pemikiran para Profesor yang
helain rambutnya terlucuti kepenatan. Ya… mungkin kepenatan akan permasalahan
yang hendak dipecahkan.
Aku hanya berupaya
menyimak kasus yang akan digelar dalam perbincangannya. Dari arah pandanganku, mulai menerangkan hal yang belum tentu dirinya menempatkan posisi dalam
ketahuanya. Tentang “ramah lingkungan”
setidaknya itu yang aku pahami dari perkataan narasumber saat liputan terkait dengan
pemadaman listrik yang dilakukan di kawasan perkuliahanku saat ini.
Dia tak menjawab
pernyataanku yang masih dalam penerawangan.
Hanya bentuk tertawaan yang aku tak tahu kemana arahnya. Mungkin
pernyataanku tentang hal yang tidak dimengertinya, atau kepasifanku dengan
perihal yang dipaparkan dan direncanakannya. Aku masih berda dalam batasku
sebagai pemimpi…
Kembali ia meneruskan,
setelah berapa pesan isinya hanya tertawaan…
“sayang
ga ada satu perempuan yang berani di ajak” tuturnya
memaksaku berpikir lebih ganas kembali.
“untuk????”
jawabku singkat penuh duga sangka…
“ikut
bicara di audiensi nanti….” Masih dengan tulisan yang jauh
dari perkataan alay anak zaman sekarang… tidak ada singkatan dan mencirikan
orang yang telah paham atas keadaan “perlebayan”.
“boleh….
Itung-itung cari efek” jawabku dengan sedikit bermain
kata dalam penulisannya. Efek disini dimaksudkan untuk mencari keringananku
dalam menyatakan pikiran. Karena sebelumnya aku pernah beberapa kali mengikuti
audinesi dengan pihak di kawasan perkuliahanku. Hanya saja masih dalam bayang
singa besar yang memposisikan diriku menjadi tikus kecil bersuara mencicit.
“hmmm….
(dengan karakter orang mikir kebingungan). Efek
gitar ya neng” lanjutnya membuatku bingung tak kujawab.. meski aku tahu
efek yang dimaksud dia itu. Ya…. Sering dikatakan oleh anak-anak band zaman
sekarang.
“ingin
disamakan apa???” jawabku kebingungan dengan pernyataan
sebelumnya.
“efek
rumah kaca” jawabku dengan sedikit mengkerutkan
dahi.
Masih dengan udara panas
yang membuat badanku berkeringat… mungkin efek belum mandi kali yah….!!!
Hahhhahaha… (tertawaanku bukan untuk ditiru, begitupun kelakuanku).
“atau
memang sukanya Cuma bikini aku kopi dan susu atau menyediakan saudara
laki-lakinya makan siang” tulisnya kali ini dengan sedikit
singkatan dibeberapa kata.
Kembali kukerutkan
dahiku yang hitam tak Nampak sama dengan keseluruhan wajahku. (belang
singkatnya). Kupikirkan pernyataanya, karena kau merasa tak demikian. Menyuruh
makan pada saudara-saudaraku yang telah beristri itupun aku tak pernah.
(pikirku dalam kenyataan, dan tertawa dalam kegilaanku).
“saya
rasa kartini tidak menyebutkan wanita harus dipasifkan seorang lelaki. Trlepas
dari kodrat wanita itu sendiri. saya rasa bukan kaum lelaki saja yang bisa membuat
perubahan.” Jawabku dengan sedikit tantangan di
wajah dan geraman pada pita suara yang tak enak didengar… (hahahhahah….).
Lama jawaban itu
datang, setelah akhirnya dua pesan yang saya alamatkan seolah menunggu jawaban
berhasil terkirim.
“tapi
faktanya hese ngajak awewe tehnya….bilangnya sih emansipasi atau kesetaraan
gender, tapi diajak bicara…..” tak diteruskan, seolah
masih meraba akhir kesimpulan yang membuatku semakin mamasang wajah
kebingungan. (naon sih maksudna,,,,,, jiahahhah).
Udara makin membuatku
kepanasan, jauh lebih panas dari sekedar berkeringat. Geraman dari wajah yang
mengerutkan dahi setengah mati membuatku menuai pergolakan dengan serangkaian
pertanyaan. Pertanyaan yang tak jelas apa maskudnya.
“hem….
Dengan kata lain anda menyebutkan ‘semua wanita sama???’. Saya rasa masih ada
sebagian wanita yang melepaskan diri dari statement itu…”
mencoba meyakinkan kalau aku tak senang dengan pernyataanya…
Dari percakapan yang
terpotong dari tulisannya, kudapatkan pesan demi pesan saling menyusul
membuatku kebingungan membacanya. (sebenarnya aku tak bingung dengan segala
pernyataannya, hanya saja masih tidak mengerti dengan maksudnya).
“hmmm…
(kembali dengan karakter orang yang kebingungan)… malah bilang ‘aku kan perempuan’”.
Seolah ada fakta yang
memang menyereku percaya dengan perkataanya. Karena bukan tidak tahu banyak
kutemukan hal semacam itu. Namun segmentasinya beda, tidak hanya wanita yang merengek demikian… “akh, sudahlah… ngapain hal kaya gitu
dipikirkan”. Dalam hal ini sebenarnya kasusnya sama. Dan dipertegas dengan
perkataan, “tugas kalian sekarang hanya
belajar” setidaknya itu yang pernah aku dengar. Lantas dari semua perkataan
yang berhasil aku dengar mungkinkah kesimpulanku sama halnya dengan perkataan
lelaki yang mengajakku bicara dalam agenda audinesinya??? (tanyaku memasang
wajah garang, betapapun senyuman tetap kuguratkan).
Selebihnya dia hanya
menyertakan kegombalannya yang kupikir sebuah bentuk penggodaan padaku. Meski
kurang jelas maksudnya berkata demikian. Hanya saja aku tahu tak mudah untuk
tersenyum dengan perkataan demikian.
Seolah aku tak
pedulikan perkataanya yang menggoda, kutuliskan pergolakanku dengan pertanyaan
dan kebisingan seluruh kaumku yang merasa dikucilkan. Dan satu persatu kata
memaksaku menuliskan kalimat perdebatan….
“hem…
(gayaku setiap kali memulai tulisan) memang
wajar wanita menyebutkan demikian karena dia disadarkan kodratnya. Tapi bukan
kah zaman akan berubah dan perubahan ada pada setiap yang merubahnya??. Mereka
yang bilang wanita tak bisa apa-apa sebenarnya mereka yang tak tahu
perkembangan zaman, atau mungkin wanita itu sendiri yang masih terkurung dengan
kodratnya di masa lampau. Saya rasa saya tak demikian, sedikitnya saya mampu
sejajar dengan kaum lawan saya…”
Pernyataan itu berderet
memaksaku menyertakan kebisinganku dengan pernyataan yang di ucapkan. Meski
memang kenyataannya pernyataan yang terlantun dari dirinya mampu membuatku
sedikitnya membenarkan keadaan. Tapi aku masih merasa berada sama dalam
kerumunan kaumku. Yah… wanita… kaum wanita…. Kaum yang kata zaman masih berada
dalam keterpurukan.
Kembali saya teruskan
dengan wajah geram namun masih memasang senyuman….
“saya
rasa yang berstatment “wanita semuanya sama” adalah lelaki yang tak paham
perkembangan zamannya,… hahhahah… (tertawa sinis) atau dia menutup mata
terhadap perkembangan zamannya….” Seakan posisiku berada
dalam garda terdepan kaumku sendiri dan wajah yang memasang genggaman geram
kesakitan…. (terlalu berlebihan memang bahasaku).
Satu persatu perkataan
yang berhasil aku kirim dan terbaca olehnya… satu persatu pula balasan itu
datang, kali ini datang dengan keroyokan. Isinya tak begitu menanggapi
perkataanku yang geram karena kaumku diperkucilkan.
“ammmmiiinnnn,
ya robal alamin” tulisnya dalam bahasa arab.
“bukan
zaman yang merubahnya menjadi sama/sederajat. Tapi tuhan dan alam telah
menjanjikannya” tak mengerti maksudnya apa… kedangkalan
otakku tentang Tuhan dan segala manifestasinya membuat ku harus tak
menghiraukan pernyataanya.
“sayang
terkadang lakob perempuan selalu saja dijadikan alasan untuk berbuat”
hem… kali ini aku berada jauh dalam kebingunganku sendiri. keganasanku hilang,
mengeruh dan tak tahu kemana lagi membuat persimpangan baru. Aku kebingungan
sendiri di kamar yang tak kuinginkan ukurannya.
Bukan karena aku kalah
sehingga menyadari keadaan yang membuat lemah… singkatnya lemah bukan berate
kalah. Setidaknya itu yang pahami dari usiaku yang sudah semakin dibebankan
dengan pikiran-pikiran berat wajah kehidupan. (Daramatisnya… hehhehe).
“memang
saat ini saya akui anda jauh lebih hebat dari saya, tapi bukan karena saya
sebagai wanita…. Dan bukan berarti wanita tidak bisa melebihi anda….” Ucapku
lantang jikalau orang itu berada langsung dihadapan, dengan wajah geram
terpatri senyuman.. kupasang telunjukku pada wajahnya yang belumku bayangkan.
Seolah tak
menghiraukan… dia yang ku tahu berada jauh si sebrang telepoku saat ini aku
berada. Lantas dengan singkatnya dia berkata….
“perempuan
‘natur’”. Dengan beberapa pengirimian ulang setelah
memperbaiki bebrapa huruf dalam kata yang dituliskannya.
Masih dengan pergolakan
dalam perdebataan, dimana aku masih berada di depan kaumku memasang wajah
garang dalam genggaman. Dan seorang yang berkiblat pada fakta yang
ditemukannya. Aku mulai mengoceh kembali dengan kata-kata yang kupasang sebagai
senjata…..
“selalu
ada wanita yang hebat dibelakang lelaki yang hebat,”
kali ini singkat memang aku berkata.
“aku
tak bermaksud padamu… mereka yang disekitarku yang membuat statement itu
lahir,”
jawabnya dalam tulisan.
Perdebatan mulai
merongrongku, kali ini pada pemikiranku tentang satu hal…. Apakah benar kaumku
begitu dikucilkan karena memang tak mampu berada alam keuasaan, ketangguhannya
melawan kekuasaan, kemampuanya menyelesaikan masalah…??? Kali ini aku kalah
berfikir dari kebanyakan… yah… kebanyakan wanita-wanita tangguh yang tidak bisa
bicara dalam kekuasaan, dalam perdebatan, dalam penyelesaian konfilik dengan
pemangku jabatan… dan… bnayak lagi yang lainnya yang aku rasa akupun tak paham
tantang ketangguhan seorang wanita meski ia tak bicara.
Dalam hati aku berpikir
bahwa ‘ketangguhan wanita bukan atas ia bicara’
Lupakan sebenatar
tentang statement yang ku katakana diatas….
Aktivis lelaki itu,
kemudian meneruskan perkataanku seolah dia menyetujuinya dan kembali harapnya tuliskan
dibagian akhir perkataanku yang ia tuliskan pula. “ammmiinn, ya ribal alamin…” dalam tulisan bahasa arab dia
mengamini.
……………………………………………………………………………………………………………………………………………..
(bagian geje yang aku tak paham). Soal siapa yang mencetuskan perkataan bahwa
“wanita semua sama”
Dan kali ini aku
meyakinkan, bahwa aku masih punya Tuhan… dan kukatakan:
“semoga….
Meski terkadang aoa yang diharapkan jauh melenceng dari harapan. Akan selalu
ada tangan Tuhan berkata lain untuk sebuh perubahan yang diinginkan,” aku
hanya mencoba memberikan pernyataan lewat perkataan abstrak yang tak dapat
dipahami secara instan. Tapi aku yakin dia akan jauh lebih paham dari sekedar
pemahaman dia tentang suatu hal.
Kembali pergolakanku
dengan pikiran yang menguratkan tanda tanya besar… seberanya apa yang dia
pahami tentang wanita??. Wanita kebanyakankah??? Wanita yang dibedakan dalam
pemahamannya?? Atau…. Terlalu banyak dugaan….
Naluri saya sebagai kaum
yang dikucilkan zaman pun berkata-kata layaknya orang yang kehilangan
kepercayaan karena sebuah statement.
“pernyataan
saya tentang wanita dan lain sebagainya, mungkin bukan ada pada saya.
Setidak-tidaknya saya telah berusaha bertahap untuk perubahan yang diinginkan.
Masih banyak wanita yang mengagumkan… saya rasa anda lebih tahu, hanya sekedar
menyamakan dengan wanita kebanyakan yang telah melahirkan statement demikian,”
dan ku akhiri dengan “semangat untuk
pencariannya” tentunya dengan
karekter yang memasang senyum dalam monitor dalam genggaman.
Kembali dia tak
pedulikan perkataanku… hanya berkata layaknya sang pujangga zaman pergerakan
“aku
manusia jalang”
Tak mengerti maksudnya
apa… kembali kubermain dengan kata-kataku yang menuai keabstarakan….
“sejalang rupa dunia yang berdusta pada kekuasaan???
Atau
kekuasaan yang berupa jalang pada keadaan???
Akh,
tak sejalang aku yang sudah bosan hidup tanpa perubahan yang dilakukan….”
Dan dia kembali berkata
singkat layaknya manusia yang bosan dengan ocehan….satu persatu perkataan
melejit dari bibir di wajahnya yang masih tak kubayangkan.
Begitupun aku… masih
berupaya melawan dengan keabstarakan….
“dan
beribu menyamakan kaumku dari masa lampau dengan keterpurukan…”
Dan kuteruskan….
Kembali…..
“hem…
saya rasa inilah yang kami temukan dari lawan kaumku yang berambisi keras pada
pemahamannya… betapapun itu kami kencangkan urat-urat dari kehidupan liar yang
akan lebih liar dari sekedar betatapan dengan kejalangan rupa kekuasaan”
Setidak-tidaknya itu
yang aku pahami dari perdebatan yang melehkan kaum sebangsaku… kaum yang
dikucilkan zamannya..yang katanya masih dalam keterpurukan.
Bahwa sulit memang jika
pemahaman diiringi keinginan… akan sulit memahami sebuah tindakan yang belum
diketahui ada sebuah nilai yang mampu disamakan dari hanya sekedar bicara.
Karena menurutku “ketangguhan wanita
bukan atas ia bicara”.
“……………………………..” masih
berupaya menggoda…. Tapi betapapun aku tak tinggalkan percakapan, masih
kuteruskan keabstrakanku dalam lantunan perkataan.
“statement
itu saya rsa buah peringatan keterpurukan wanita sekarang dengan
peradabannya…dan kali ini saya rasa rupa kejalangan itu bisa tertaklukan dengan
kedipan wanita-wanita yang dangkal pemahaman. Hahahhahha …. (tertawa
dalam kegilaan) bahkan tirani
kejalanganya hancur berantakan…”
Ini pernyataan yang ku
tahu dari pemaparan seorang lelaki yang kalah perasaan dengan hanya sekedar
wanita yang belum tentu banyak pemahaman dan banyak perkataan.
Dan akhirnya sebuah
pertanyaan kulontarkan… ketegasan dari keabstarakanku membuat dari perkataan
yang sebelumnya.
“paham
dengan apa yang aku tuliskan??? Jadi wanita kebanyakan yang anda anggap…akan
jauh lebih hebat menguasai dunia pada rupa kejalangan tiraninya?”
Dan kembail dia
menggoda…. Kali ini dengan kata-katanya yang membuatku membayangkan rupa
wajahnya…
“dan
aku, aku berbisik padanya…kemarilah, sirami aku dengan air dingin di tanganmu…
banjur dan usaplah mukaku… agar aku bisa tersenyum lebar”
Kali ini aku tergoda…
senyumku melebar dan kemudian tertawa. Bahasanya yang berantakan, dan terselip
kata “banjur” membuatku memasang wajah ringanku dan sebenatr terlepas dari
radangan. (hahahhaha… terakhir ku tuliskan masih aku tersenyum lebar kawan….
Keinginanku demikian bukan???)
“akh,
terlalu kasar bila demikian…” ucapku masih dalam
tawa yang meraung…. Jiahahhahhhahaha
“tak
perlu kepintaraan, buaian, atau segala yang ada dalam permukaan kejelasannya
sebagai wanita yang dianggunkan pandangan. Lebih dari satu hal yang Tuhan
ciptakan… untuk kaum yang kata zaman berada dalam keterpurukan bandingannya
dengan lawan kaumnya”
Kuteruskan
keabstarakanku dalam perkataan…. Dia masih tetap saja menggoda…. Dan aku masih
tetap dalam perdebatan yang mengatasnamakan kaumku….
Hingga terakhir pesan
itu masih tergantung tak punya jawaban…
“tahukah
sekarang ini wajah penuh kerutan yang aku pasang??? Hahahhah… hal itupuu aku
tunjukan pada kaumku… kaum yang kata zaman berada dalam keterpurukan”.
Atas semua perdebatan
ini, aku mulai sadar bahwa wanita masih berada jauh dizamannya… setidaknya dari
statement “wanita semua sama” yang seolah menjelaskan wanita tak bisa bicara,
karena bicara adalah upaya membuat perubahan.
Pernahkah berbikir,
dari mana seorang lelaki yang terlihat begitu hebat saat bicara dan mampu
merubah dunia Dengan perkataanya…saya rasa bagi yang mengagumi sosok ibu dia
kan lebih paham bagaimana wanita itu lemah dalam bicara, tapi mampu meraba
semuanya. Semua kekasaran hidup, semuanya yang tidak selalu ia bicarakan dalam
masalahnya. Karena “KARENA KETANGGUHAN WANITA BUKAN ATAS IA BICARA”.
Semoga dari perdebatan
itu akhirnya saya dan semua kaum saya dan siapa saja yang masih menganggap
“wanita semua sama, tidak bisa bicara untuk perubahan” bisa memahami lebih jauh
kenapa Tuhan mencipatakan Wanita demikian. Karena Tuhan menciptakan Ketangguhan
yang yang jauh lebih penting dari sekedar “wanita yang diam tak bicara untuk
perubahan”.
Tuhan memporsikan
semuanya seimbang dan beriringan…
Tuhan tahu bagaimana
semuanya harus berjalan bersamaan…
Dan terlepas dari
kodrat yang tuhan telah tentukan, selalu ada kata untuk perawanan…
Begitupun wanita… akan
banyak wanita yang bertahan untuk menopang manusia baru membuat perubahan dan
bicara lantang pada keadaan.
Adapula wanita yang
berontak bicara memasang kekuatan untuk perubahan…
Semuanya saling
mengisi… semuanya beriringan….!!!
Karena
masih ada hal terpenting dari wanita yang memilih untuk bertahan, menciptakan
manusia berjiwa besar dan mampu membuat perubahan….!!!!
Ty_poems
(kamar kosan dalam derai perdebatan… #5_03_12)