Senin, 05 Maret 2012

KARENA KETANGGUHAN WANITA BUKAN ATAS IA BICARA


ilustrasi
Perdebatan itu dimulai di siang saat mata kanan dan kiri ku berada jauh di alam yang memberi lamunan. Mungkin dari sebuah mimpi yang tak terselesaikan tadi malam, atau malam sebelumnya.
Perdebatan tentang wanita. Yah… wanita… peran wanita di zaman peradabannya.

Berawal dari sebuah ajakan tentang derai perbincangan yang akan dilakukannya untuk perubahan. Rasa-rasanya dapat ku tangkap maksud dan tujuannya mengadakan audiensi itu.
“mau apa tah??  Bukan bayar listrik kan??” jawabku dengan perkiraan yang disadarkan sesosok aktivis yang kutahu porsi pergolakannya dengan masalah.

“mau audiensi terkait sering terjadinya pemadaman listrik didaerah-daerah banten” jawabnya dengan tulisan yang salah dibeberapa huruf yang digunakan. Namun ketikannya tak macam anak ABG zaman sekarang dengan kata lain penuh singkatan.

“oke,, siippp” tulisku dengan sangat singkat. Namun tidak menghilangkan singkatnya pemikiranku tentang hal yang demikian.

Dia meneruskan…. “serta ketersediaan PJU yang tidak tepat guna dan tanpa ada pemeliharaan” lebih jauh dia memaparkan dan menerangkan semua perencanannya (willing, kalo katanya mah)… dan dari bawah kalimat itu terselip dibagian akhirnya “mau ikut ga….” Tulisnya tanpa tanda tanya…

Wajahku meraba kebingungan saat tulisan demi tulisan yang berhasil ia ketik dan dikirimkan padaku… memaksaku berpikir lebih ganas. Melebihi pemikiran para Profesor yang helain rambutnya terlucuti kepenatan. Ya… mungkin kepenatan akan permasalahan yang hendak dipecahkan.

Aku hanya berupaya menyimak kasus yang akan digelar dalam perbincangannya. Dari arah pandanganku, mulai menerangkan hal yang belum tentu dirinya menempatkan posisi dalam ketahuanya. Tentang “ramah lingkungan” setidaknya itu yang aku pahami dari perkataan narasumber saat liputan terkait dengan pemadaman listrik yang dilakukan di kawasan perkuliahanku saat ini.

Dia tak menjawab pernyataanku yang masih dalam penerawangan.  Hanya bentuk tertawaan yang aku tak tahu kemana arahnya. Mungkin pernyataanku tentang hal yang tidak dimengertinya, atau kepasifanku dengan perihal yang dipaparkan dan direncanakannya. Aku masih berda dalam batasku sebagai pemimpi…
Kembali ia meneruskan, setelah berapa pesan isinya hanya tertawaan…

“sayang ga ada satu perempuan yang berani di ajak” tuturnya memaksaku berpikir lebih ganas kembali.
“untuk????” jawabku singkat penuh duga sangka…

“ikut bicara di audiensi nanti….” Masih dengan tulisan yang jauh dari perkataan alay anak zaman sekarang… tidak ada singkatan dan mencirikan orang yang telah paham atas keadaan “perlebayan”.

“boleh…. Itung-itung cari efek” jawabku dengan sedikit bermain kata dalam penulisannya. Efek disini dimaksudkan untuk mencari keringananku dalam menyatakan pikiran. Karena sebelumnya aku pernah beberapa kali mengikuti audinesi dengan pihak di kawasan perkuliahanku. Hanya saja masih dalam bayang singa besar yang memposisikan diriku menjadi tikus kecil bersuara mencicit. 

“hmmm…. (dengan karakter orang mikir kebingungan). Efek gitar ya neng” lanjutnya membuatku bingung tak kujawab.. meski aku tahu efek yang dimaksud dia itu. Ya…. Sering dikatakan oleh anak-anak band zaman sekarang.

“ingin disamakan apa???” jawabku kebingungan dengan pernyataan sebelumnya.
“efek rumah kaca” jawabku dengan sedikit mengkerutkan dahi.

Masih dengan udara panas yang membuat badanku berkeringat… mungkin efek belum mandi kali yah….!!! Hahhhahaha… (tertawaanku bukan untuk ditiru, begitupun kelakuanku).

“atau memang sukanya Cuma bikini aku kopi dan susu atau menyediakan saudara laki-lakinya makan siang” tulisnya kali ini dengan sedikit singkatan dibeberapa kata.
Kembali kukerutkan dahiku yang hitam tak Nampak sama dengan keseluruhan wajahku. (belang singkatnya). Kupikirkan pernyataanya, karena kau merasa tak demikian. Menyuruh makan pada saudara-saudaraku yang telah beristri itupun aku tak pernah. (pikirku dalam kenyataan, dan tertawa dalam kegilaanku).

“saya rasa kartini tidak menyebutkan wanita harus dipasifkan seorang lelaki. Trlepas dari kodrat wanita itu sendiri. saya rasa bukan kaum lelaki saja yang bisa membuat perubahan.” Jawabku dengan sedikit tantangan di wajah dan geraman pada pita suara yang tak enak didengar… (hahahhahah….).
Lama jawaban itu datang, setelah akhirnya dua pesan yang saya alamatkan seolah menunggu jawaban berhasil terkirim.

“tapi faktanya hese ngajak awewe tehnya….bilangnya sih emansipasi atau kesetaraan gender, tapi diajak bicara…..” tak diteruskan, seolah masih meraba akhir kesimpulan yang membuatku semakin mamasang wajah kebingungan. (naon sih maksudna,,,,,, jiahahhah).

Udara makin membuatku kepanasan, jauh lebih panas dari sekedar berkeringat. Geraman dari wajah yang mengerutkan dahi setengah mati membuatku menuai pergolakan dengan serangkaian pertanyaan. Pertanyaan yang tak jelas apa maskudnya.

“hem…. Dengan kata lain anda menyebutkan ‘semua wanita sama???’. Saya rasa masih ada sebagian wanita yang melepaskan diri dari statement itu…” mencoba meyakinkan kalau aku tak senang dengan pernyataanya…

Dari percakapan yang terpotong dari tulisannya, kudapatkan pesan demi pesan saling menyusul membuatku kebingungan membacanya. (sebenarnya aku tak bingung dengan segala pernyataannya, hanya saja masih tidak mengerti dengan maksudnya).

“hmmm… (kembali dengan karakter orang yang kebingungan)… malah bilang ‘aku kan perempuan’”. 
Seolah ada fakta yang memang menyereku percaya dengan perkataanya. Karena bukan tidak tahu banyak kutemukan hal semacam itu. Namun segmentasinya beda, tidak  hanya wanita yang merengek demikian… “akh, sudahlah… ngapain hal kaya gitu dipikirkan”. Dalam hal ini sebenarnya kasusnya sama. Dan dipertegas dengan perkataan, “tugas kalian sekarang hanya belajar” setidaknya itu yang pernah aku dengar. Lantas dari semua perkataan yang berhasil aku dengar mungkinkah kesimpulanku sama halnya dengan perkataan lelaki yang mengajakku bicara dalam agenda audinesinya??? (tanyaku memasang wajah garang, betapapun senyuman tetap kuguratkan).

Selebihnya dia hanya menyertakan kegombalannya yang kupikir sebuah bentuk penggodaan padaku. Meski kurang jelas maksudnya berkata demikian. Hanya saja aku tahu tak mudah untuk tersenyum dengan perkataan demikian.

Seolah aku tak pedulikan perkataanya yang menggoda, kutuliskan pergolakanku dengan pertanyaan dan kebisingan seluruh kaumku yang merasa dikucilkan. Dan satu persatu kata memaksaku menuliskan kalimat perdebatan….

“hem… (gayaku setiap kali memulai tulisan) memang wajar wanita menyebutkan demikian karena dia disadarkan kodratnya. Tapi bukan kah zaman akan berubah dan perubahan ada pada setiap yang merubahnya??. Mereka yang bilang wanita tak bisa apa-apa sebenarnya mereka yang tak tahu perkembangan zaman, atau mungkin wanita itu sendiri yang masih terkurung dengan kodratnya di masa lampau. Saya rasa saya tak demikian, sedikitnya saya mampu sejajar dengan kaum lawan saya…”

Pernyataan itu berderet memaksaku menyertakan kebisinganku dengan pernyataan yang di ucapkan. Meski memang kenyataannya pernyataan yang terlantun dari dirinya mampu membuatku sedikitnya membenarkan keadaan. Tapi aku masih merasa berada sama dalam kerumunan kaumku. Yah… wanita… kaum wanita…. Kaum yang kata zaman masih berada dalam keterpurukan.

Kembali saya teruskan dengan wajah geram namun masih memasang senyuman….
“saya rasa yang berstatment “wanita semuanya sama” adalah lelaki yang tak paham perkembangan zamannya,… hahhahah… (tertawa sinis) atau dia menutup mata terhadap perkembangan zamannya….” Seakan posisiku berada dalam garda terdepan kaumku sendiri dan wajah yang memasang genggaman geram kesakitan…. (terlalu berlebihan memang bahasaku).

Satu persatu perkataan yang berhasil aku kirim dan terbaca olehnya… satu persatu pula balasan itu datang, kali ini datang dengan keroyokan. Isinya tak begitu menanggapi perkataanku yang geram karena kaumku diperkucilkan.

“ammmmiiinnnn, ya robal alamin” tulisnya dalam bahasa arab.
“bukan zaman yang merubahnya menjadi sama/sederajat. Tapi tuhan dan alam telah menjanjikannya” tak mengerti maksudnya apa… kedangkalan otakku tentang Tuhan dan segala manifestasinya membuat ku harus tak menghiraukan pernyataanya.

“sayang terkadang lakob perempuan selalu saja dijadikan alasan untuk berbuat” hem… kali ini aku berada jauh dalam kebingunganku sendiri. keganasanku hilang, mengeruh dan tak tahu kemana lagi membuat persimpangan baru. Aku kebingungan sendiri di kamar yang tak kuinginkan ukurannya.

Bukan karena aku kalah sehingga menyadari keadaan yang membuat lemah… singkatnya lemah bukan berate kalah. Setidaknya itu yang pahami dari usiaku yang sudah semakin dibebankan dengan pikiran-pikiran berat wajah kehidupan. (Daramatisnya… hehhehe).

“memang saat ini saya akui anda jauh lebih hebat dari saya, tapi bukan karena saya sebagai wanita…. Dan bukan berarti wanita tidak bisa melebihi anda….” Ucapku lantang jikalau orang itu berada langsung dihadapan, dengan wajah geram terpatri senyuman.. kupasang telunjukku pada wajahnya yang belumku bayangkan.

Seolah tak menghiraukan… dia yang ku tahu berada jauh si sebrang telepoku saat ini aku berada. Lantas dengan singkatnya dia berkata….
“perempuan ‘natur’”. Dengan beberapa pengirimian ulang setelah memperbaiki bebrapa huruf dalam kata yang dituliskannya.

Masih dengan pergolakan dalam perdebataan, dimana aku masih berada di depan kaumku memasang wajah garang dalam genggaman. Dan seorang yang berkiblat pada fakta yang ditemukannya. Aku mulai mengoceh kembali dengan kata-kata yang kupasang sebagai senjata…..
“selalu ada wanita yang hebat dibelakang lelaki yang hebat,” kali ini singkat memang aku berkata.
“aku tak bermaksud padamu… mereka yang disekitarku yang membuat statement itu lahir,”
jawabnya dalam tulisan.

Perdebatan mulai merongrongku, kali ini pada pemikiranku tentang satu hal…. Apakah benar kaumku begitu dikucilkan karena memang tak mampu berada alam keuasaan, ketangguhannya melawan kekuasaan, kemampuanya menyelesaikan masalah…??? Kali ini aku kalah berfikir dari kebanyakan… yah… kebanyakan wanita-wanita tangguh yang tidak bisa bicara dalam kekuasaan, dalam perdebatan, dalam penyelesaian konfilik dengan pemangku jabatan… dan… bnayak lagi yang lainnya yang aku rasa akupun tak paham tantang ketangguhan seorang wanita meski ia tak bicara.

Dalam hati aku berpikir bahwa ‘ketangguhan wanita bukan atas ia bicara’
Lupakan sebenatar tentang statement yang ku katakana diatas….
Aktivis lelaki itu, kemudian meneruskan perkataanku seolah dia menyetujuinya dan kembali harapnya tuliskan dibagian akhir perkataanku yang ia tuliskan pula. “ammmiinn, ya ribal alamin…” dalam tulisan bahasa arab dia mengamini.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………….. (bagian geje yang aku tak paham). Soal siapa yang mencetuskan perkataan bahwa “wanita semua sama”
Dan kali ini aku meyakinkan, bahwa aku masih punya Tuhan… dan kukatakan:
“semoga…. Meski terkadang aoa yang diharapkan jauh melenceng dari harapan. Akan selalu ada tangan Tuhan berkata lain untuk sebuh perubahan yang diinginkan,” aku hanya mencoba memberikan pernyataan lewat perkataan abstrak yang tak dapat dipahami secara instan. Tapi aku yakin dia akan jauh lebih paham dari sekedar pemahaman dia tentang suatu hal.

Kembali pergolakanku dengan pikiran yang menguratkan tanda tanya besar… seberanya apa yang dia pahami tentang wanita??. Wanita kebanyakankah??? Wanita yang dibedakan dalam pemahamannya?? Atau…. Terlalu banyak dugaan….

Naluri saya sebagai kaum yang dikucilkan zaman pun berkata-kata layaknya orang yang kehilangan kepercayaan karena sebuah statement.
“pernyataan saya tentang wanita dan lain sebagainya, mungkin bukan ada pada saya. Setidak-tidaknya saya telah berusaha bertahap untuk perubahan yang diinginkan. Masih banyak wanita yang mengagumkan… saya rasa anda lebih tahu, hanya sekedar menyamakan dengan wanita kebanyakan yang telah melahirkan statement demikian,” dan ku akhiri dengan “semangat untuk pencariannya”  tentunya dengan karekter yang memasang senyum dalam monitor dalam genggaman.

Kembali dia tak pedulikan perkataanku… hanya berkata layaknya sang pujangga zaman pergerakan
“aku manusia jalang”

Tak mengerti maksudnya apa… kembali kubermain dengan kata-kataku yang menuai keabstarakan….
sejalang rupa dunia yang berdusta pada kekuasaan???
Atau kekuasaan yang berupa jalang pada keadaan???
Akh, tak sejalang aku yang sudah bosan hidup tanpa perubahan yang dilakukan….”
Dan dia kembali berkata singkat layaknya manusia yang bosan dengan ocehan….satu persatu perkataan melejit dari bibir di wajahnya yang masih tak kubayangkan.
Begitupun aku… masih berupaya melawan dengan keabstarakan….
“dan beribu menyamakan kaumku dari masa lampau dengan keterpurukan…”

Dan kuteruskan…. Kembali…..

“hem… saya rasa inilah yang kami temukan dari lawan kaumku yang berambisi keras pada pemahamannya… betapapun itu kami kencangkan urat-urat dari kehidupan liar yang akan lebih liar dari sekedar betatapan dengan kejalangan rupa kekuasaan”

Setidak-tidaknya itu yang aku pahami dari perdebatan yang melehkan kaum sebangsaku… kaum yang dikucilkan zamannya..yang katanya masih dalam keterpurukan.

Bahwa sulit memang jika pemahaman diiringi keinginan… akan sulit memahami sebuah tindakan yang belum diketahui ada sebuah nilai yang mampu disamakan dari hanya sekedar bicara. Karena menurutku “ketangguhan wanita bukan atas ia bicara”.

“……………………………..” masih berupaya menggoda…. Tapi betapapun aku tak tinggalkan percakapan, masih kuteruskan keabstrakanku dalam lantunan perkataan.
“statement itu saya rsa buah peringatan keterpurukan wanita sekarang dengan peradabannya…dan kali ini saya rasa rupa kejalangan itu bisa tertaklukan dengan kedipan wanita-wanita yang dangkal pemahaman. Hahahhahha …. (tertawa dalam kegilaan) bahkan tirani kejalanganya hancur berantakan…”

Ini pernyataan yang ku tahu dari pemaparan seorang lelaki yang kalah perasaan dengan hanya sekedar wanita yang belum tentu banyak pemahaman dan banyak perkataan.
Dan akhirnya sebuah pertanyaan kulontarkan… ketegasan dari keabstarakanku membuat dari perkataan yang sebelumnya.

“paham dengan apa yang aku tuliskan??? Jadi wanita kebanyakan yang anda anggap…akan jauh lebih hebat menguasai dunia pada rupa kejalangan tiraninya?”
Dan kembail dia menggoda…. Kali ini dengan kata-katanya yang membuatku membayangkan rupa wajahnya…

“dan aku, aku berbisik padanya…kemarilah, sirami aku dengan air dingin di tanganmu… banjur dan usaplah mukaku… agar aku bisa tersenyum lebar”
Kali ini aku tergoda… senyumku melebar dan kemudian tertawa. Bahasanya yang berantakan, dan terselip kata “banjur” membuatku memasang wajah ringanku dan sebenatr terlepas dari radangan. (hahahhaha… terakhir ku tuliskan masih aku tersenyum lebar kawan…. Keinginanku demikian bukan???)

“akh, terlalu kasar bila demikian…” ucapku masih dalam tawa yang meraung…. Jiahahhahhhahaha
“tak perlu kepintaraan, buaian, atau segala yang ada dalam permukaan kejelasannya sebagai wanita yang dianggunkan pandangan. Lebih dari satu hal yang Tuhan ciptakan… untuk kaum yang kata zaman berada dalam keterpurukan bandingannya dengan lawan kaumnya”

Kuteruskan keabstarakanku dalam perkataan…. Dia masih tetap saja menggoda…. Dan aku masih tetap dalam perdebatan yang mengatasnamakan kaumku….
Hingga terakhir pesan itu masih tergantung tak punya jawaban…

“tahukah sekarang ini wajah penuh kerutan yang aku pasang??? Hahahhah… hal itupuu aku tunjukan pada kaumku… kaum yang kata zaman berada dalam keterpurukan”.

Atas semua perdebatan ini, aku mulai sadar bahwa wanita masih berada jauh dizamannya… setidaknya dari statement “wanita semua sama” yang seolah menjelaskan wanita tak bisa bicara, karena bicara adalah upaya membuat perubahan.

Pernahkah berbikir, dari mana seorang lelaki yang terlihat begitu hebat saat bicara dan mampu merubah dunia Dengan perkataanya…saya rasa bagi yang mengagumi sosok ibu dia kan lebih paham bagaimana wanita itu lemah dalam bicara, tapi mampu meraba semuanya. Semua kekasaran hidup, semuanya yang tidak selalu ia bicarakan dalam masalahnya. Karena “KARENA KETANGGUHAN WANITA BUKAN ATAS IA BICARA”.

Semoga dari perdebatan itu akhirnya saya dan semua kaum saya dan siapa saja yang masih menganggap “wanita semua sama, tidak bisa bicara untuk perubahan” bisa memahami lebih jauh kenapa Tuhan mencipatakan Wanita demikian. Karena Tuhan menciptakan Ketangguhan yang yang jauh lebih penting dari sekedar “wanita yang diam tak bicara untuk perubahan”.
Tuhan memporsikan semuanya seimbang dan beriringan…
Tuhan tahu bagaimana semuanya harus berjalan bersamaan…
Dan terlepas dari kodrat yang tuhan telah tentukan, selalu ada kata untuk perawanan…
Begitupun wanita… akan banyak wanita yang bertahan untuk menopang manusia baru membuat perubahan dan bicara lantang pada keadaan.
Adapula wanita yang berontak bicara memasang kekuatan untuk perubahan…
Semuanya saling mengisi… semuanya beriringan….!!!

Karena masih ada hal terpenting dari wanita yang memilih untuk bertahan, menciptakan manusia berjiwa besar dan mampu membuat perubahan….!!!!

Ty_poems (kamar kosan dalam derai perdebatan… #5_03_12)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar