Kamis, 29 November 2012

Butuh Teduh untuk Bisa Mencium Air Matamu


Kita pernah punya cerita dan pernah juga tidak sengaja membuatnya ternoda. Kepercayaan yang dihakimi sebagian persen keangkuhan dari diri masing-masing. Membuatku membual tentang harapan yang tersusun rapih dan porak poranda berantakan.


Aku bertapa diantara dusta yang menerobos kejujuran dalam setiap angka-angka pembawa pilihan. Memang sedikit membuatmu mengerutkan dahi diantara butiran peluh bercucuran serta air mata yang mendampingi ketulusan. 


Aku terdiam diantara senja yang selalu kita saksikan di bibir batu karang garis pantai selatan. Kamu selalu menyadarkan tentang tak ada satu pilihan pun yang harus kuikatkan dalam genggaman tali yang harus kuputuskan. Kamu begitu membuatku meleleh dari keterasingan beberapa bulan kemarin. Tak satu celah yang kau biarkan kosong untuk terus menerobos relung penuh empedu terbakar. 


Aku marah, kamu semakin memerah. Aku diam kamu semakin dingin pasrah. Aku begitu menjadi mahluk terkejam dari segerombolan serigala yang memilih menyendiri dan bersikeras membela diri. Sementara hujan itu terus membuat dingin yang menggerayangi tubuh letih kehabisan kekuatan. 


Aku kalah membuatmu menyerah dari kekuatanmu untuk bertahan. Aku menyesal. Aku mencari kekuatan untuk bisa bertahan dari sisa-sisa keprcayaan. Dari sisa-sisa rasa yang lebih dulu kau jadikan harga mati untuk sebuah hubungan. "Masih kah kau ingat hujan yang kau tunggu-tunggu atas jawaban cinta dariku?" Tapi kemudian aku meminta teduh untuk segera membuatmu menunggu hujan kembali agar kau bisa tau isi hati.

Hingga akhirnya kau begitu mengerti jawabanku tak secepat kilat yang mengantam batang pohon kering disebrang pandangan kita. Kau menunggu dan akhirnya menjadi layu, tapi hujan kemudian menyegarkanmu kembali. Kau kejar aku dengan mata angin yang tak tau kemana titik akhirnya, kau meragu dan bisu untuk kesekian kalinya, tapi berkali-kali hujan membuatmu menunggu arti teduh untuk bisa membuatmu berlari kembali. Dan aku kalah mengalah pada pertahananku yang sendiri. Kamu menang sekaligus merajaiku tanpa aku mengerti arti sebuah mencintai. 

Lantas waktu menyusun bongkahan dari batu megalitik yang kau tanam terus menerus diawal tahun sepuluhan. Kau membuatkanku menara tertinggi yang sekaligus harus kandas sekali jadi. Hingga kau dapati aku yang sendiri dan menyusunya kembali. Matamu memerah, berair dan meleleh pada pundaku yang mulai berat menopang kesakitanku atas sebuah penyesalan. Dan kau berkata : "perlu hujan untuk bisa membuatku berlari kembali seperti dulu" dan aku menjawab : "dan aku hanya butuh teduh untuk kembali mencium air matamu"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar