Kita kembali mendengkur tanpa alas, mengukur sayatan tanpa gores, mengangkasa tanpa batas...
Kita sedang terdiam membawa lampu pijar redup kehitaman,
Bercerita tentang kaki-kaki langit yang menopang harapan, Menyusuri mata air kala kehausan...
Lalu kita pasang kedua mata kita untuk lebih peka pada penglihatan, pada segala sesuatu yang nampak janggal dari yang seharusnya berjalan...
Sungai yang kekuningan,
udara yang menyesakan,
dan bulir air hujan yang keasaman...
Kita lanjutkan perjalanan, dari kolong ke kolong jembatan. Bernyanyi hiruk pikuk jalanan, atauberkarya melukis roda-roda dijalan menuai kemacetan...
Kita masih saja bermimpi berada dipuncak pegunungan, menikmati mata air jernih kala kehausan, menutupi seonggok daging basah oleh dedaunan...
Mencabuti ilalang tinggi yg semakin beringas menantang, mengarungi jalanan panjang membentang, mengukur biru langit dengan mata telanjang... Untuk kesekian kalinya kau kembali menoleh dan menghitung berapa langkah yg kita tinggalkan dibelakang... Untuk kembali berperang...
Atau kembali mengemasi mimpi-mimpi sembarang, yang ditinggalkan dialur pematang... Kita masih tetap berjalan, membuang muka, menghela nafas panjang...
Sementara biru langit, kuning sungai, hujan asam, pelangi yang tampak buta warna mencoba merangkai dinamika kehidupan seperti biasanya..
Kita masih tetap berjalan, mencoba kembali mengukur tekanan angin pegunungan dalam cerobong asap kehitaman...
Kita masih tetap berjalan, merangkai mimpi disetiap sudut permukaan laut yang semarak memecahkan ombak kedaratan...
Disetiap pematang-pematang sawah mencoba melihat tingkat erosi permukaan, menarik akar-akar rerumputan yang berserakan...
Kita masih tetap berjalan seperti biasanya, namun jiwa kita mati tanpa rupa, Tanpa daya, tanpa segala sesuatu yang kita capai untuk bahagia...
Kita diam, bukan berarti tak peka, kita masih berjalan menunggu waktu tiba kepada senja, senja berwarna atau lapuk dimakan usia Tua...
Kita sedang terdiam membawa lampu pijar redup kehitaman,
Bercerita tentang kaki-kaki langit yang menopang harapan, Menyusuri mata air kala kehausan...
Lalu kita pasang kedua mata kita untuk lebih peka pada penglihatan, pada segala sesuatu yang nampak janggal dari yang seharusnya berjalan...
Sungai yang kekuningan,
udara yang menyesakan,
dan bulir air hujan yang keasaman...
Kita lanjutkan perjalanan, dari kolong ke kolong jembatan. Bernyanyi hiruk pikuk jalanan, atauberkarya melukis roda-roda dijalan menuai kemacetan...
Kita masih saja bermimpi berada dipuncak pegunungan, menikmati mata air jernih kala kehausan, menutupi seonggok daging basah oleh dedaunan...
Mencabuti ilalang tinggi yg semakin beringas menantang, mengarungi jalanan panjang membentang, mengukur biru langit dengan mata telanjang... Untuk kesekian kalinya kau kembali menoleh dan menghitung berapa langkah yg kita tinggalkan dibelakang... Untuk kembali berperang...
Atau kembali mengemasi mimpi-mimpi sembarang, yang ditinggalkan dialur pematang... Kita masih tetap berjalan, membuang muka, menghela nafas panjang...
Sementara biru langit, kuning sungai, hujan asam, pelangi yang tampak buta warna mencoba merangkai dinamika kehidupan seperti biasanya..
Kita masih tetap berjalan, mencoba kembali mengukur tekanan angin pegunungan dalam cerobong asap kehitaman...
Kita masih tetap berjalan, merangkai mimpi disetiap sudut permukaan laut yang semarak memecahkan ombak kedaratan...
Disetiap pematang-pematang sawah mencoba melihat tingkat erosi permukaan, menarik akar-akar rerumputan yang berserakan...
Kita masih tetap berjalan seperti biasanya, namun jiwa kita mati tanpa rupa, Tanpa daya, tanpa segala sesuatu yang kita capai untuk bahagia...
Kita diam, bukan berarti tak peka, kita masih berjalan menunggu waktu tiba kepada senja, senja berwarna atau lapuk dimakan usia Tua...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar